Minggu, 23 Oktober 2011

Konflik Dalam Keluarga

Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa sansekerta kula dan warga “kulawarga” yang berarti “anggota” “kelompok kerabat”. Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu.
Keluarga inti (”nuclear family”) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Keluarga merupakan unit satuan masyarakat terkecil sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat.
Menurut Sigmund Freud, keluarga terbentuk karena adanya perkawinan pria dan wanita. Sedangkan menurut Durkhem, keluarga adalah lembaga sosial sebagai hasil faktor-faktor politik, ekonomi, dan lingkungan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan atau kelompok orang yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan. Terdiri dari: Keluarga nuklir/inti/batih (nuclear family) : Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Keluarga tua (extended family) : Keluarga kekerabatan yang terdiri dari 3 atau 4 keluarga batih yang terikat oleh hubungan orang tua anak atau saudara kandung oleh suatu tempat tinggal bersama yang besar. Keluarga Individu tersebut merupakan salah satu keturunan.

Fungsi keluarga secara umum menurut Munandar Soelaeman adalah:
1.       Pengatur seksual
a.   Hidup bersama atas dasar suka sama suka (kumpul kebo).
b.  Pergundikan, hubungan seorang bangsawan dengan gundiknya (jaman praindustri masyarakat barat) atau Raja dengan Selir.
c.   Melahirkan anak pada masa tunangan.
d.  Perzinahan, sang lelaki sudah menikah ataupun sang wanita sudah menikah.
e.  Kehidupan bersama seorang yang bertarak (celibate, pastoral, biarawan, menahan hawa nafsu) dengan orang lain yang juga hidup bertarak atau yang tidak bertarak.
f.    Perzinahan, kedua-duanya telah menikah.
g.   Kehidupan bersama wanita yang berkasta tinggi dengan lelaki berkasta rendah.
h.  Incest (hubungan seksual dalam satu keluarga), saudara lelaki dengan saudara perempuan, bapak dengan anak perempuan, ibu dengan anak lelaki.
2.   Reproduksi
3.   Sosialisasi
4.   Pemeliharaan
5.   Penempatan anak didalam masyarakat
6.   Pemuas kebutuhan perorangan
7.   Kontrol sosial

Fungsi keluarga secara umum menurut H. Abu Ahmadi:
1) Fungsi Biologis
2) Fungsi Pemeliharaan
3) Fungsi Ekonomi
4) Fungsi Keagamaan
5) Fungsi Sosial

Fungsi keluarga secara umum menurut Soewaryo Wangsanegara:
1) Pembentukan kepribadian
2) Alat reproduksi
3) Merupakan eksponer dari kebudayaan masyarakat
4) Lembaga perkumpulan perekonomian
5) Pusat pengasuhan dan pendidikan

Peristiwa terputusnya sistem keluarga, menurut William J, Goode (1983), dapat mengakibatkan terpecahnya suatu unit keluarga. Beberapa macam utama kekacauan keluarga:
1) Ketidaksahan, unit keluarga yang tidak lengkap
2) Pembatalan, perpisahan, perceraian, dan meninggalkan
3) Keluarga selaput kosong
4) Ketiadaan salah satu pasangan karena hal yang tidak diinginkan
5) Kegagalan peran penting yang tidak diinginkan

Konflik Dalam Keluarga

Setiap konflik dalam keluarga (pertengkaran orang tua), pasti mempengaruhi pola pikir dan kelakuan anak. Apa lagi jika konflik tersebut diperlihatkan di depan anak. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi psikis anak dalam konflik rumah tangga. Seperti besarnya konflik, usia anak dan jenis kelamin anak (anak perempuan biasa lebih sensitif ketimbang anak laki-laki).

Apabila konflik yang terjadi masih kecil, orang tua pasti mampu menutupinya. Dan, anak tidak akan mengetahui masalah itu karena orangtua tidak memperlihatkan konflik di depan anak. Kecuali jika konflik sudah membesar dan orang tua tidak dapat menutupinya dari anak, akan sangat berpengaruh pada mental anak.

Konflik berkepanjangan yang terjadi pada keluarga akan membawa dampak psikologis anak saat mereka remaja. Ketika anak masih balita, mereka belum merasakan apa-apa. Namun memori otaknya akan tetap merekam setiap peristiwa yang mereka alami, meski hanya seperti mimpi. Bayang-bayang ini akan semakin jelas terpateri dalam pikiran mereka ketika beranjak remaja. Karena pada saat itu, mereka mulai mengerti realita kehidupan.

Tekanan psikis tersebut akan berujung pada depresi dan trauma bagi anak. Depresi biasanya berkelanjutan. Anak yang mengalami depresi, selalu menganggap dirinya tidak berguna atau merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka kemudian mengaitkan kekurangan diri, baik dalam bentuk materi maupun fisik dengan setiap kejadian di lingkungannya. Bahkan ada anak yang menggunakan obat-obat terlarang atau merasa ingin bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya.

Sementara trauma, lebih condong pada ketakutan terhadap diri sendiri dan lingkungan. Misalnya, seorang anak yang takut akan kekerasan, akan merasa ketakutan saat mendengar suara keras. Ia juga merasa ketakutan saat melihat kerumunan orang banyak.

Untuk membantu anak-anak yang mengalami depresi dan trauma karena konflik orang tua, sebaiknya melibatkan pihak ketiga. Dorongan bisa diberikan oleh orang dewasa di lingkungan keluarga besar, pembantu atau guru. Hal ini dilakukan kalau orang tuanya sudah tidak sanggup lagi memotivasi anaknya untuk bisa sembuh dari trauma dan depresi. Orang-orang ini dianggap pantas memberikan motivasi karena lebih mengetahui keseharian anak dibandingkan yang lain. Selain itu, usia mereka yang dewasa, diharapkan mampu menilai konflik dengan kepala dingin.

Segala tindakan orang tua dalam menghadapi konflik akan membuat anak meniru apa yang mereka lakukan. Seperti caci maki, tindak kekerasan dan pengusiran. Anak-anak akan melakukan hal yang sama karena mereka melihat itu dari orang tuanya. Namun jika mereka tidak berhasil, mereka akan memadukan cara yang ditempuh orang tuanya dengan cara yang mereka anggap dapat diterima akal dan pikirannya.

Jika orang tua akhirnya harus bercerai, sebaiknya anak diberi kebebasan untuk memilih sendiri, mereka mau ikut siapa. Karena anak mampu memilih mana yang terbaik. Terbaik disini bukan baik dari segi materi atau konsep yang diberikan dalam menjalankan fungsi orang tua, melainkan rasa aman dan nyaman.

Pengadilan Agama diharapkan juga mampu memutuskan yang terbaik untuk anak, bukan atas desakan orang tua saat persidangan. Kepada orang tua yang dipilih oleh anak atau pengadilan untuk mengasuh anak-anaknya, sebaiknya jangan mengekang mereka dengan pengaturan waktu kunjungan pasangan yang terlalu ketat. Karena anak akan merasa senang jika orang tua berada di sisinya, meski sudah bercerai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar